RANCAH POST – Bukan hal yang mengejutkan bila kelompok teroris di Indonesia menggunakan aplikasi Telegram. Hal tersebut sebagaimana dikatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Sejumlah teroris yang tertangkap pun menyebutkan bila komunikasi yang dilakukan sesama anggota dilakukan melalui Telegram.
Salah satunya terjadi pada teror yang terjadi pada Januari 2016 di kawasan MH Thamrin.
“Hingga adanya bom di Kampung Melayu dan penusukan anggota di Masjid Falatehan, semuanya menggunakan Telegram,” ujar Tito, Minggu (16/7/2017).
Pada kasus bom Kampung Melayu, ucap Tito, polisi mendapati adanya komunikasi yang dilakukan pelaku dengan simpatisan ISIS Indonesia di Suriah, Bahrun Naim.
Begitu pula dengan pelaku penusukan polisi di Falatehan, Mulyadi yang bergabung dengan grup radikal. Dari grup itulah Mulyadi terpengaruh paham radikal hingga akhirnya menyerang polisi.
BACA JUGA: Larangan WhatsApp di Brazil Akhirnya Dibatalkan, Ini Alasannya
Hal serupa terjadi pula dalam kasus pengibaran bendera ISIS di Polsek Kebayoran Lama. GOH, pelaku, memperoleh pemahaman radikal dari grup media sosial dan Telegram.
Lantas kenapa teroris kerapa menggunakan aplikasi tersebut? Menurut Tito, hal ini terjadi karena aplikasi itu melindungi privasi penggunanya.
“Banyak keunggun dalam fiturnya, yakni bisa menampung member hingga 10 ribu. Aplikasinya juga dienkripsi sehingga sulit dideteksi,” kata Tito.
Bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, polisi sudah melakukan pembahasan. Dengan Telegram diblokir, itu akan menjadi salah satu solusi menghambat komunikasi kelompok teroris yang ada di Indonesia.
“Akan kita lihat nanti apakah jaringan teror itu akan menggunakan aplikasi lain,” tutur dia.
Tak di Indonesia saja, di Rusia, FSB yang merupakan dinas keamanan federal menyebutkan bahwa pelaku pengeboman di stasiun metro Saint Petersburg memakai Telegram untuk berkomunikasi.