RANCAH POST – Hanya tinggal hitungan jam hampir seluruh umat manusia akan melewati malam yang akan dirayakan secara masif oleh warga di seluruh dunia, malam tahun baru.
Perayaan tahun baru sejatinya merupakan pesta warisan orang-orang Romawi. Pada tahun baru tersebut, orang-orang Romawi mendedikasikan dirinya untuk Janus, dewa yang memiliki dua wajah yang mengarah ke depan dan ke belakang sebagai wujud filosofi masa depan dan masa lalu.
Jelas dengan adanya fakta ini, perayaan tahun baru bukanlah budaya kaum Muslim, melainkan perayaan orang kafir yang tak lain masyarakat paganis (penyembah berhala).
Meski demikian, pada kenyataannya, sebagian Muslim masih ada yang ikut merayakan perayaan malam tahun baru ini. Lantas bagaimana hukum merayakan tahun baru bagi seorang Muslim? Terlepas dari itu semua, ada pendapat yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan atau membolehkan perayaan malam tahun baru ini.
Pendapat yang Mengharamkan
Pertama, sudah jelas bahwa malam perayaan tahun baru merupakan ritual pemeluk agama lain, seperti kaum paganis Romawi. Perayaan malam tahun baru ini bahkan menjadi satu set dengan perayaan natal bangsa Eropa yang menganggapnya sebagai hari lahir Yesus.
Jelaslah perayaan malam tahun baru itu merupakan perayaan orang-orang non Muslim. Rasulullah SAW sendiri bersabda: “Siapa saja yang menyerupai atau mengikuti kebiasaan atau pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk dalam bagian mereka.”
Kedua, tak dipungkiri lagi bila malam perayaan tahun baru justru digunakan sebagai ajang melakukan maksiat seperti minum arak, berzina, dan perbuatan maksiat lainnya. Malampun terlewati dengan perbuatan yang sia-sia. Sedangkan Allah SWT sendiri menjadikan malam untuk beristirahat, bukan untuk begadang, kecuali bila seseorang hendak melaksanakan ibadah malam.
Maka keharaman merayakan malam tahun baru ini tak lain sebagai upaya untuk mencegah dan melindungi kaum Muslim dari perbuatan ahli maksiat.
Pendapat yang Menghalalkan
Pendapat yang menghalalkan atau membolehkan perayaan malam tahun baru adalah bahwa perayaan malam tersebut tidak selalu identik dengan ritual agama tertentu dan bergantung kepada niat. Bila niatnya mengikuti hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang kafir atau ahli maksiat, maka hukumnya haram. Namun bila sebaliknya, maka sama sekali tidak dilarang.
Perbandingannya adalah liburnya umat Islam di hari natal. Secara nyata, setiap tanggal merah jatuhnya hari natal, tahun baru, kenaikan Isa, paskah, dan hari-hari besar agama lainnya, umat Islam pun pasti libur sekolah dan libur bekerja. Bahkan institusi seperti kementerian agama, pesantren, dan institusi Islam lainnya juga turut libur. Lantas apakah liburnya umat Muslim pada hari-hari besar umat lain tersebut sama dengan merayakan hari besar agama lain?
Berkenaan dengan maksiat yang biasa dilakukan pada malam tahun baru seperti minum arak dan berzina yang memang hukumnya haram. Seorang Muslim bisa mengisinya dengan hal-hal yang baik sekaligus ibadah seperti memberi makan fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan kegiatan postif lainnya, tentu keharamannya pun tidak ada. Haramnya bukan pada malam tahun barunya, tapi pada perbuatan maksiatnya.
Semoga bermanfaat.