RANCAH POST – Berbagai bentuk perilaku penyimpangan anak, mulai dari yang sederhana seperti bohong, lambat, malas, hingga yang paling parah seperti selfie telanjang, kecanduan pornografi, seks bebas dan same-sex attraction seperti gay dan lesbian. Itu semua berawal dari kesalahan pola asuh orang tua.
Dengan mengubah cara bicara dan perilakunya, maka manfaatnya pun akan sangat terasa, respon anak jadi positif, lebih menurut, masalah yang ada bisa teratasi, sehingga kita lebih tenang dalam menghadapi anak dan tidak banyak membuang energi untuk menasehati anak.
Syaratnya adalah konsisten dan sabar, insyaAllah akan ada respon positif dari anak.
Berikut ini beberapa kesalahan komunikasi orang tua terhadap anak yang harus segera diubah, sebagaimana dikutip dari laman Facebook Lutfia Ayasha.
Kesalahan Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak
Memerintah
Kenapa kita dilarang memerintah kepada anak apalagi disertai dengan bentakan? Karena, anak akan menjadi pasif, tidak mandiri, tidak ada inisiatif/kreatif, dan ibu juga capek jika harus menyuruh terus.
Jika kita ingin anak berbuat sesuatu, ajak dan terangkanlah alasannya. “Nak, yuk sholat, mama temani”, “Nak, yuk bereskan mainanmu, biar rumah rapih”. Insya Allah, lama-lama akan terbiasa dan atas inisiatif sendiri anak akan melakukan hal-hal itu.
Kebiasaan menyuruh membuat anak menjadi pasif. Misal nilai matematikanya jelek, jangan terus-terusan disuruh belajar dan les, tapi ajak anak bicara atau diskusi.
Usahakan sampai anak menemukan sendiri apa yang menyebabkan nilainya jelek, dan dia sendiri yang bilang, “Aku ingin les!” Jadi anak ada rasa tanggung jawab, dia les bukan karena disuruh ibu tapi karena dia merasa perlu les.
Mengancam
Para ibu paling ahli mengancam, “Kalau nggak makan, mama tinggal!”, “Kalo nakal, mama kurung di kamar mandi!”.
Akibatnya, anak nurut karena takut, bukan karena kesadarannya sendiri. Yang akhirnya anak jadi penakut dan mau diajak berbuat negatif oleh teman-temannya karena takut dengan ancamannya.
Menceramahi
Jangan suka menceramahi anak. Kenapa? Karena, coba ingat-ingat lagi, dulu waktu kecil, kalau diceramahi ibu dan bapak, bagaimana rasanya? Bete, sebel, dan dalam hati bilang, “Sok tau banget!”, atau “Cerewet!”, Ya kan?
Lebih baik, ajak anak berdiskusi dalam suasana santai.
Menginterogasi
Terutama untuk anak remaja, gaya interogasi malah akan membuat mereka kesal dan semakin menjauh dari orang tua.
Anak pulang telat, ibu langsung bergaya polisi, “Darimana tadi? Sama siapa? Ngapain aja? Tadi habis les sama temen-temen kalian mampir dulu di cafe ya? Kamu coba-coba ngerokok ya, kok bau rokok?!”.
Tujuan orang tua tentu baik, tapi caranya yang kurang baik.
Memberi label/cap
Ibu sering ngomel, kamu lelet, nakal, bandel, ceroboh, dan lain-lain. Kalo ibu marah biasanya gak puas kalo gak berkata, “Kamu kok nggak pernah nurut atau dengerin ibu sih?!”.
Memberi cap akan membentuk citra diri anak. Ketika dia dikatai berulang-ulang bahwa dia lelet, bodoh atau bandel, maka lama-lama anak akan merasa bahwa dirinya memang seperti itu.
Lama-lama anak akan cuek, pasif, dan berpikiran, “Saya memang seperti ini, kalian mau apa?”.
Jadi biasakan ucapkan kata-kata yang membentuk citra positif anak, puji anak sesuai apa yang dilakukan (berlebihan memuji juga tidak baik, akan membuat anak narsis).
Ungkapkan perasaan ibu, misal, “Nak, ibu kesal kalau kamu….”.
Membandingkan
Tujuan ibu membanding-bandingkan anak adalah supaya anak termotivasi, “Belajar yang rajin dong, kayak kakak. Liat kakak tuh, juara terus, kamu kok enggak?”.
Ada beberapa kasus ekstrim yang ditemukan guru parenting saya, akibat ibu suka membandingkan. Salah satunya, ada perempuan dewasa, kena kanker parah.
Saat diterapi, keluar masalahnya, selama ini dia tertekan karena sejak kecil ibunya tidak pernah puas sama dia, dan selalu membanding-bandingkan dengan kakaknya.
Menghakimi
Contoh, kakak berantem sama adik, lalu ibu tanpa mau meneliti dulu langsung bilang, “Kakak jangan nakal sama adik!”, atau anak nilainya jelek, “Ini pasti gara-gara kamu main game terus!”.
Tujuan ibu bicara seperti itu adalah untuk memperbaiki perilaku anak, iya kan? Tapi sayang, cara ini tidak berpengaruh. Anak akan merasa sakit hati (terutama jika dia merasa benar dan dituduh salah).
Lama-lama anak merasa tidak disayangi lagi, karena terus-terusan disalahkan. Ketika anak masih kecil, mungkin masih bisa kita kontrol.
Tapi ketika sudah remaja, jika komunikasi dengan orang tua tidak baik, anak akan menjauh dan lebih mendengar kata-kata temannya.
Menyalahkan
Ini sering sekali kita lakukan dan terasa wajar. Misalnya, anak menumpahkan minuman di karpet, “Ya ampun! Kok numpahin minum aja sih? Liat ni karpet jadi kotor! Hati-hati dong!”.
Mungkin kita bertanya-tanya, memang anak salah, kenapa gak boleh disalahin? Problemnya ada di gaya bicara.
Kalo anak salah kita kasih tahu, tapi bukan dengan menyalahkan (apalagi ditambah ngomel, marah, atau melabeli, “Dasar kamu memang ceroboh!“).
Seperti sudah dikatakan sebelumnya, tujuan kita belajar gaya bicara yang benar adalah agar komunikasi orang tua dengan anak terbangun baik, sehingga berbagai masalah besar di masa depan bisa dihindari.
Anak yang terus-terusan di salahkan, akan tumbuh jadi orang yang tidak percaya diri, tidak kreatif (selalu takut salah), bahkan mungkin jadi pembohong.
Di sini ada yang anak pelajari, menahan emosi (karena anak belajar dengan meniru sikap ibu), bertanggung jawab, dan dia tau kalau jalan tidak hati-hati, akan ada akibatnya.
Mendiagnosis atau menganalis
Seperti tadi, anak jatuh dan minuman di gelas tumpah ke karpet. Ibu jangan marah tapi bilang seperti ini, “Adek tadi pasti jalannya sambil ngelamun ya? Terus, jadi gak liat nih ada mainan di atas karpet. Coba kalo tadi adek jalan pelan-pelan, perhatiin kakinya, jangan sampai kesandung, pasti gak bakal tumpah nih susunya.“.
Kebayang kalo ibu-ibu terbiasa ngomong seperti itu, sampai anak remaja masih rajin menganalisis, pasti dalam hati mereka akan bilang, “Bawel amat sih emak gue! Sok tau banget!“.
Dalam kondisi ini, tidak berpengaruh jika ibu-ibu memberi nasehat ini-itu, karena dalam pikiran mereka sudah tertanam, “Ibuku sok tau!”. Gawat kan?
Nah, yang sebaiknya dilakukan adalah BERTANYA (bukan interogasi ya). “Waduh.. adek kok nilai matematikanya jelek?“.
Biarkan anak menganalisis sendiri, jangan langsung bilang, “Ini pasti karena kamu males bikin PR!”.
Menyindir
Ibu sendiri kalau disindir orang lain tidak enak kan? Pasti kesel kan? Sayangnya banyak juga ibu-ibu yang suka nyindir orang, juga nyindir anaknya.
Anak-anak yang disindir ibunya pun tetap sakit hati, merasa terhina, dan merasa disalahkan.
Misalnya sang anak sedang sibuk membaca buku cerita, padahal rumah berantakan atau belum cuci piring.
Ibu sambil beresin rumah, bilang, “Duh, tuan putri, santai banget nih baca buku, emang enak ya jadi putri, ada pembantu yang ngurusin semuanya!“.
Memberi solusi
“Udah, kamu bobo aja, biar ibu yang beresin mainanmu.”, “Ya, sini biar ibu yang bikinin prakaryanya, kamu kerjakan PR yang lain”.
Anak sudah di sekolah dan dia SMS bahwa buku PR-nya ketinggalan, ibu pun buru-buru nganter buku PR tersebut ke sekolah. Anak mau ujian, buku gak ketemu.
Sambil ngomel, ibu bantu cariin dan ketemu (kalo gak ketemu, ibu yang pinjem dari anak temennya, lalu ibu yang fotokopi).
Padahal, kita ibu-ibu udah banyak urusan, mulai dari masak, nyuci, ngitung uang belanja, ikut ke majlis taklim, kerja, dan lain-lain.
Masa mau merepotkan diri untuk hal-hal yang seharusnya diurus sendiri oleh anak.
Kebiasaan memberi solusi pada anak, selain merepotkan diri sendiri juga mendidik anak jadi pribadi manja, bergantung ke orang lain, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif mencari solusi untuk masalahnya sendiri.
Maka, berhenti berusaha jadi SUPERMOM yang selalu ingin memberi solusi.
Menyuap
“Kalau adek gak rewel nanti ibu beliin eskrim”, “Ssst, main dulu sana. Nanti kalo tamunya sudah pulang ibu kasih uang buat beli mainan.
Sekarang jangan ribut ya! Malu sama tamu”. “Ayo beresin mainannya, nanti ibu kasih hadiah”. Siapa yang pernah ngomong seperti itu?
Ibu-ibu, ini namanya menyuap ya. Kita sekarang benci sama para pejabat yang makan suap, tapi kadang kita lupa, sikap senang disuap itu ditumbuhkan oleh orang tua.
Jangan sampai anak-anak kita besar nanti jadi penyuka suap, mau kerja kalau ada uang pelicin, dan lain-lain.
Berbohong
Ada tamu, ibu males menemui, lalu ibu bilang ke anak, “Bilang, ibu gak ada!”. Anak minta jajan, “Ibu gak ada uang!” (Padahal ada, tapi buat keperluan lain).
Anak tidak mau makan, “Nanti ditangkep polisi lho!”. Selain mengancam, ibu juga bohong. Kan polisi gak akan nangkep orang yang mogok makan.
Akibat dari bohong, kita semua sudah tau. Kita benci dibohongi, masa kita latih anak kita jadi seorang pembohong.
Nah itulah kesalahan komunikasi orang tua terhadap anak, mudah-mudahan ibu-ibu di rumah tidak menerapkan hal tersebut kepada anak. Semoga bermanfaat!