RANCAH POST – “Hari banyak pembantaian terhadap umat Islam, seperti saudara kita di Palestina yang dibantai oleh bangsa Yahudi, di Rohingnya oleh orang-orang Budha, di Pattani Tahiland, hingga di Irak yang diinvasi oleh Amerika Serikat, umat Islam yang menjadi korban. Pasca teror di Paris, Suriah dibombardir oleh Perancis yang mengatasnamakan perang melawan ISIS.” ungkap Ketua DPD II HTI Kota Banjar Ustadz Yamin Rohaimin dalam acara Halqoh Islam dan Peradaban (HIP) pada Ahad (01/11/2015) bertempat di Gedung dakwah Kota Banjar, Jawa Barat dengan tema “Islamophobia pasca terror bom Paris.”
Sementara Ustadz Ibnu Aziz Fathoni, M.Pd.I dari DPP Pusat HTI menjelaskan Islamofobia adalah rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan muslim. Di dalam Islamophobia juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu agama.
Serangan Paris ini merupakan Operasi False Flag atau bendera palsu. Operasi False Flag adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh pemerintah, perusahaan atau organisasi, yang dirancang untuk muncul seolah-olah ini dilakukan oleh entitas lain, untuk membenarkan menuju ke arah peperangan melawan orang-orang yang telah dituduh salah tersebut.
“Jadi yang membuat mereka sendiri, yang dipukulkan kepada umat Islam.” ucapnya.
Sebagai indikator, ia memaparkan paling tidak ada enam indikator. Pertama terjadinya serangan di 6 titik, serentak dan waktu yang sama, dilakukan di negara sekaliber Perancis, dan intelijen negara itu tidak bisa mengendusnya, tentu aneh, bahkan aib.
Kedua, pelaku bom telah diinformasikan oleh Kepolisian Turki kepada Kepolisian Perancis dua kali tapi tak ditanggapi. Pelaku bernama Mostefai tersebut dilahirkan di kawasan miskin Paris pernah didakwa atas delapan kejahatan ringan namun tidak dipenjara.
Yang ketiga, adanya temuan indikasi korban-korban teror Paris adalah palsu alias rekayasa alias hanya boneka. Keempat, teror terjadi dua hari menjelang KTT G-20 di Antalya, Turki, juga bukan momen kebetulan.
Kelima, dalam tempo 3 hari, Senin 16 September sebanyak 12 pesawat tempur, termasuk 10 pengebom, menjatuhkan 20 bom ke target di Raqqa, Suriah. keeenam, Perancis langsung mengirim Kapal induk Charles de Gaulle dikerahkan ke Mediterania Timur untuk meningkatkan operasi di Suriah.
“Semuanya ini sudah cukup untuk membuktikan, apa, siapa dan motif serangan Paris yang sesungguhnya. Siapapun pelakunya, Serangan Paris ini jelas telah menjadi justifikasi kebijakan Perancis untuk meningkatkan serangannya ke Suriah” tegasnya.
Bahkan serangan Paris ini juga digunakan untuk menggalang dukungan Eropa, dan negara-negara G-20, terhadap rencana AS dan sekutunya di Suriah. Bagi Perancis, ini merupakan momentum untuk meraih lebih banyak keuntungan di Suriah dan seluruh dunia, sebagaimana yang diraih AS di Irak dan Afganistan, pasca serangan WTC 9/11/2001.
Mengapa barat menyerang Suriah? Diawali oleh Arab Spring dan Revolusi Islam yang berhasil menumbangkan rezim Tunisia, Mesir, Libya, hingga Yaman, membangkitkan rakyat Suriah untuk menumbangkan rezim Assad.
“Revolusi Suriah berbeda dengan revolusi lain, sehingga barat melihat konflik Suriah tidak sesuai dengan kehendak mereka. Kondisi ini memaksa barat untuk melakukan upaya menghadang revolusi suriah yang menghendaki kebangkitan Islam dengan Khilafah Barat lalu membuat Exit Strategy, salah satunya adalah sukses men-drive ISIS dalam upaya menghadang kebangkitan Islam di Suriah,” terangnya.
Artikel merupakan kiriman dari HIP HTI Kota Banjar.