RANCAH POST – Terkait pemblokiran 22 situs Islam oleh Kemkominfo atas permintaan BNPT, Yhannu Setyawan selaku Komisioner KIP (Komisi Informasi Pusat) menganggap pemblokiran tersebut tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Terlebih, tindakan demikian dilakukan tanpa adanya penjelasan kepada publik dan peringatan kepada pemilik situs.
Yhannu katakan, “Jika dilihat dari luar, tindakan pemblokiran situs-situs tersebut dilakukan secara tertutup,” Selasa (31/03/2015).
Menurut Yhannu, Kemenkominfo harus menjelaskan kepada publik secara gamblang dan transparan tentang mekanisme yang berlaku dalam menutup sebuah situs yang dianggap membahayakan masyarakat luas. Lanjut Yhannu, sampai saat ini hal tersebut belum tersosialisasikan kepada masyarakat.
Yhannu menambahkan, publik mempunyai hak untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi dasar setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah, baik secara sosiologis, yuridis maupun menyangkut hal-hal lainnya, itu sesuai Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Informasi (Perki) No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik.
Lebih jauh lagi, Yhannu menjelaskan, keputusan pemblokiran situs Islam tersebut seharusnya didahului tindakan-tindakan pendahuluan, seperti peringatan, klarifikasi, atau lainnya. Apabila tidak, maka kejadian ini dinilai sebagai salah satu bentuk tindakan represif, sepihak layaknya masa Orde Baru.
Yhanu ungkap, “Kan kita sekarang tengah gencar-gencarnya membangun demokrasi yang sehat, bukan menghidupkan kembali gaya pemerintahan yang otoriter ala Orde Baru.”
Rudiantara (Menkominfo), ketika ditemui Senin (30/03/2015), mengkonfirmasi adanya pemblokiran 22 situs Islam yang menyebarkan paham radikalisme. Keputusan itu dilakukan atas permintaan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Ia juga mengatakan, jika permintaan pemblokiran tersebut dilayangkan oleh BNPT maka semua situs-situs itu hampir pasti terkait dengan radikalisme dan terorisme.