RANCAH POST – Anak adalah buah cinta, tambatan hati, belahan jantung, hiasan hidup dan penyejuk mata memandang. Anak menjadi pelipur lara dan penawar duka. Jika anak berhasil, banggalah orang tua, tidak sia-sia perjuangannya. Jika anak berprestasi, beban yang berat menjadi ringan seketika.
Jika anak bisa mandiri, rajin shalat, pandai bergaul, tidak terlibat perbuatan tercela, kreatif, dan inovatif, orang tua mana yang tidak berbahagia. Ibarat memelihara tanaman yang sehat tumbuh subur itu, semangat hidup seseorang menjadi berkobar, ingin bisa memenuhi seluruh keperluan anak, ingin rasanya hidup lebih lama lagi. Kalaupun Allah mentakdirkan umur orang tua tidak panjang, orang tua merasa telah menunaikan amanah, tidak ada kekhawatiran di hadapan Allah. Orang tua ikhlas dan ridha menghadap Khaliq, karena anak pasti akan mendoakannya.
Sebaliknya jika anak “mursal” susah dikendalikan dan bikin onar, orang tualah yang menderita. Jika anak terlibat perbuatan amoral, asusila, atau pelanggaran hukum, malu orang tua tak terlukiskan, sama anak melempar tinja ke muka orang tua. Sungguhpun demikian, anak tetaplah anak, kasih sayang orang tua tidak akan rontok diterjang badai.
Untuk mengantarkan anak menjadi orang yang “shaleh, sukses, dan akram”, dapat dibanggakan orang tua, maka pendidikan dasar menjadi kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Pendidikan dasar dimaksud adalah pendidikan yang telah diabadikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran.
Pendidikan sungguh sangat kita aktualisasikan sekarang ini. Lebih-lebih di saat globalisasi makin nampak pengaruh negatifnya. Fakta yang kita baca tiap hari, anak-anak dan generasi muda, masa depannya dihadapkan pada situasi yang cukup berat.
Contoh lebih utama
Mendidik bukan hanya sekedar memberi nasihat, menuliskan kata-kata bijak, mengajari anak-anak bisa membaca, menulis dan berhitung, atau mentransfer ilmu pengetahuan. Seperti Lukman Al-Hakim, orang tua harus bisa memotivasi, menjual ide-ide dan harapan, meyakinkan, memancing munculnya gagasan-gagasan brilian, menawarkan alternatif pilihan, dan membuka cakrawala pikiran anak.
Mendidik juga berarti mengarahkan, membangkitkan gairah belajar, merangsang timbulnya kreatifitas, mendorong diketemukannya potensi dan kemampuan anak didik. Sisi kognitif yang dipancarkan oleh otak sebelah kiri memang penting, tetapi sisi imajinatif ayang dipancarkan oleh otak kanan juga sangat penting. Keduanya harus dieksplorasi secara seimbang, supaya tidak pincang.
Mungkin karena hanya satu sisi yang menjadi fokus pendidikan, yaitu otak kiri saja, maka tidaklah heran jika perguruan tinggi yang ada di negeri ini hanya meluluskan sarjana-sarjana yang mencari pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan, meminta jasa bukan membuat jasa. Banyak sarjana dan banyak orang pintar tetapi tidak punya kreativitas. Albert Einstein berkata: “ILMU TANPA IMAJINASI TIDAK ADA GUNANYA”.
Lebih dari itu, tidak kalah pentingnya, guru dan orang tua harus memberi teladan. Orang tua atau guru akan memiliki kharisma tinggi dan didengar kata-katanya oleh anak-anak, manakala dirinya sendiri sudah melakukan sebelum menyuruh anak untuk melakukannya.
Ajarkan cara dan sikap hidup yang kongkrit dan nyata. Jika melihat ada kotoran di sekolah, guru tidak cukup hanya menyuruh, namun guru harus mengajak murid untuk mengambilnya. Mengajak berarti memulai terlebih dahulu, bukan memerintah. Dengan sikap dan perbuatan nyata, berarti guru dan orang tua telah membuka jalan pikirannya. Anak-anak akan tertarik mengikutinya dan terbangkitnya potensi dirinya, manakala guru dan orang tua bisa mencairkan kebekuan yang dialaminya. Dan itu terjadi dengan contoh dan visualisasi. Kesan yang ditimbulkan oleh contoh nyata dan visualisasi akan tertanam dalam memori anak dan bertahan lama, bahkan sampai tua tidak akan terlupakan. Anak-anak butuh contoh, bukan kata-kata tanpa fakta.
Jangan asal menasehati
Mahatma Ghandi seorang tokoh pejuang kemerdekaan India, ketika diminta menasehati anak yang suka makan permen, dia tidak mau, dia meminta waktu sekian hari lagi untuk memberi nasehat.
“Pak, tolong nasehati anak saya ini! Dia suka makan permen, susah dicegah”, kata seorang ibu kepada Mahatma Ghandi.
“Ibu… sekarang saya belum bisa menasehati anak ibu! Tunggu dua minggu lagi, nanti ajak anak ibu datang kemari”, jawab Mahatma Ghandi.
Dua minggu kemudian, sang ibu bersama anaknya datang menghadap Mahatma Ghandi. Baru di situlah Mahatma Ghandi memberi nasehat: “Nak… kamu jangan makan permen ya…! Nanti gigi kamu bisa rusak”.
Hanya kata-kata seperti itulah yang keluar dari mulut Mahatma Ghandi. Tetapi kenapa harus menunggu sampai dua minggu? Ketika ditanya, kenapa musti menunggu sekian hari? Mahatma Ghandi menjawab: “Bagaimana saya memberi nasehat anak ibu untuk tidak makan permen, sedangkan saya sendiri masih suka makan manisan. Saya harus meninggalkan dulu untuk tidak makan manisan, saya harus melakukan terlebih dahulu sebelum saya menyuruh orang lain untuk melakukan, dan saya harus tahu apa alasannya menyuruh orang untuk berhenti meninggalkan sesuatu”. [ton]