RANCAH POST – Syamsuddin Haris yang merupakan seorang Pengamat politik LIPI, ungkapkan apabila capres Prabowo Subianto atau capres Joko Widodo menjadi prsiden, dapat memunculkan potensi masalah pada dua hal, yakni hubungan dengan DPR dan hubungan dengan internal partai.
“Skema koalisi, baik Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, itu nanti punya dampak di dua arah, yakni dalam hal hubungan presiden dengan DPR di Senayan dan hubungan internal koalisi,” ujar Syamsuddin, Kamis (12/6/2014).
Syamsuddin menjelaskan, meski koalisi tanpa syarat yang ditawarkan oleh Jokowi adalah gagasan yang baik, menurut dia, hal tersebut mustahil diwujudkan karena akan muncul masalah setelah Jokowi terpilih.
Total kekuasaan Jokowi, yakni 37 persen, yang diakumulasi dari suara PDI Perjuangan, Partai Hanura, PKPI, dan Nasdem. Hal tersebut berarti harus menghadapi oposisi yang selebihnya, kecuali jika memang kebijakan pemerintahan Jokowi sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat. Tentu DPR bisa ditekan oleh publik.
“Pendapat saya idealnya, (pemerintah diisi) minimum 70 persen profesional, 30 persen politisi. Walaupun ini tidak mudah, sekalipun untuk Jokowi-JK,” nilai Syamsuddin.
Ia menambahkan, untuk Prabowo-Hatta, hal tersebut akan lebih sulit lagi terwujud. Sebab, partai yang mendukungnya sangat banyak. Ditambah lagi, pada awal-awal kampanye, ada janji untuk jabatan menteri utama.
Jika presiden kita adalah Prabowo, Syamsuddin menuturkan, total koalisi yang didapatkan adalah 52-53 persen kekuasaan parlemen. Masalah yang kemudian muncul ialah pada watak Prabowo.
“Kalau watak personal Prabowo, bisa mengambil putusan tanpa konsultasi dengan parlemen, itu berbahaya dalam konteks presidensial berbasis multipartai kita,” imbuh Syamsuddin.
Terlebih lagi, tambah dia, dalam hal hubungan internal koalisi, membangun kabinet akan sulit diisi profesional karena ada tuntutan balas jasa.