RANCAH POST – Membaca al-Qur’an adalah salah satu ibadah yang besar pahalanya, memperindah bacaannya adalah hal yang disunahkan. Namun memperindah bacaan al-Qur’an ini tiba-tiba menjadi polemik di kalangan masyarakat Muslim Indonesia manakala dalam satu kesempatan peringatan Isra Mi’raj yang dilaksanakan di istana Negara dilantunkan dengan menggunakan langgam Jawa, bukan dengan langgam Arab sebagaimana mestinya.
Lantas bagaimana Membaca AlQur’an dengan Langgam Jawa dalam pandangan Islam? Berikut beberapa pandangan yang disampaikan beberapa Ulama dalam menanggapi penggunaan langgam non Arab ketika melantunkan ayat suci al-Qur’an.
Dalam Kitab al-Hilah, asy-Syasyi menyampaikan perbedaan para Ulama dalam menanggapi bacaan al-Qur’an dengan menggunakan langgam non Arab semisal langgam Jawa. Menurut Asy-Syasyi, terdapat perbedaan pendapat antara Ulama, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarang. Begitu pula dengan Imam Syafi’i, Imam yang madzhabnya banyak digunakan umat Muslin Indonesia ini memperbolehkan penggunaan langgam Jawa ketika melantunkan ayat suci al-Qur’an dengan catatan tidak merubah bacaan hurufnya. Namun jika sampai merubah atau mengurangi hurufnya, maka hal ini tidak diperbolehkan.
Pandangan atau pendapat Iman Syafi’i tersebut mengisyaratkan bahwa melantunkan ayat suci al-Qur’an dengan berbagai langgam non Arab diperbolehkan asal kaidah tajwidnya benar serta keaslian huruf dan makna al-Qur’an itu sendiri tetap terjaga.
Imam ad-Darimi pun sepakat dengan pendapat Imam Syafi’i ini. Ad-Darimi sendiri mengungkapkan bahwa melantunkan ayat suci al-Qur’an dengan berbagai langgam yang ada hukumnya sunah, selama huruf dan harakatnya tidak berubah atau dihilangkan. Hukumnya haram apabila seseorang merubah atau menghilangkan huruf dan harakat dalam al-Qur’an.
Merujuk pada beberapa pandangan Ulama di atas, maka jawaban atas pertanyaan boleh atau tidaknya menggunakan langgam ketika membaca al-Qur’an adalah boleh selama tidak berubah kaidah tajwidnya, makharij hurufnya, dan terjaganya keaslian dari makna al-Qur’an itu sendiri.
Yang paling penting dari semua itu adalah selalu sikapi perbedaan dengan cara yang bijak. Tidak serta-merta menyalahkan seseorang karena melaksanakan ajaran agama yang berbeda dari biasanya tanpa terlebih dahulu mengkaji dasar-dasar atau dalil-dalil seseorang dalam melaksanakan ajaran agamanya. Wallahu a’lam!