RANCAH POST – Pemkab Bireun disebutkan mengeluarkan aturan kontroversial berkenaan dengan standarisasi warung kopi.
Selain aturan yang melarang wanita dan laki-laki bukan muhrim duduk satu meja, aturan lainnya adalah larangan kepada pramusaji melayani pelanggan perempuan di atas pukul 21.00.
Aturan lainnya, pramusaji perempuan pun dilarang bekerja melebihi pukul 21.00.
Perempuan boleh duduk satu meja dengan laki-laki asalkan itu muhrimnya. Bila ingin dilayani pramusaji, perempuan harus ditemani suami atau keluarganya.
Aturan dengan tajuk ‘standarisasi warung kopi/cafe dan restoran sesuai syariat Islam’ yang dikeluarkan tanggal 30 Agustus 2018 itu ditanda tangani langsung oleh Bupati Bireun Saifannur.
Menurut sebagian masyarakat, Bupati Bireun terlalu berlebihan dalam membuat aturan tentang syariat.
Seperti yang disampaikan Murni, aktivis Gasak. Menurut penilaiannya, aturan Pemkab Bireun itu tidak masuk akal dan terkesan diskriminatif.
“Aturan itu tidak masuk akal, memang kaum perempuan saja yang berbuat dosa sehingga dibatasi hingga pukul 21.00, sesama laki-laki juga bisa berbuat maksiat,” kata Murni, Rabu (5/9/2018).
Menurut Murni, halal atau haram bukan kewenangan bupati, melainkan dari lembaga ulama yang mempunyai wewenang mengeluarkan fatwa.
Senada disampaikan pengusaha wanita bernama Syarifah Reynisa. Dari pengakuannya, ia kerap menghabiskan waktu untuk rapat dengan rekannya di warung kopi atau cafe.
“Kalau di warung kopi atau cafe, rapat itu jadinya lebih santai. Misalnya dilarang, siapa yang akan membantu ekonomi keluarga, Pak Bupati?” ujar Syarifah.
Dikatakan Kepala Dinas Syariat pemkab Bireuen, Jufliwan, aturan itu sudah ada sejak tahun 2017, namun edarannya baru disebar Agustus kemarin.
Diucapkan Jufliwan, edaran itu ada semata-mata untuk melindungi kehormatan kaum hawa.
Sementara itu menurut Bupati Bireun, Saifannur, aturan yang bersifat imbauan itu untuk menegakkan syariat Islam dan menjaga kearifan lokal.
BACA JUGA: Tak Pakai Ini Saat ke Aceh, Pramugari Bakal Berurusan dengan Polisi Syari’ah
“Itu sebagai pembeda dengan daerah lain, untuk kebaikan, agar syariat Islam berjalan denga baik, bukan untuk merusak orang lain,” kata Saifannur.